TRENGGALEK, jurnalpos.id – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) DPC Trenggalek menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Kabupaten Trenggalek, Senin (5/5/2025)
Dalam orasinya GMNI Trenggalek menyuarakan berbagai persoalan serius yang membelit dunia pendidikan, mulai dari dugaan korupsi hingga kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
Dalam orasinya, para demonstran menyoroti mahalnya biaya pendidikan yang diklaim gratis, politisasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga kualitas pendidikan yang timpang antara kota dan desa. Mereka juga menuding adanya penyalahgunaan dana BOS melalui pengadaan buku yang dinilai tidak relevan dan dibanderol dengan harga tinggi.
Koordinator aksi, Genta Aditya Pranayan, menyampaikan bahwa pendidikan yang seharusnya gratis masih menyimpan banyak pungutan tersembunyi. Hal itu dirasakan baik di sekolah negeri maupun swasta. Ia juga menekankan pentingnya pemerataan kualitas pendidikan.
“Pendidikan gratis hanya sebatas SPP. Tapi faktanya, masih banyak biaya tambahan yang dibebankan ke siswa. Kami juga menuntut pemerataan fasilitas dan kualitas pengajaran antara sekolah di kota dan desa,” tegasnya.
Disebutkan Genta ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah di kota dan desa. Menurut mereka, sekolah di pelosok masih jauh tertinggal dari segi fasilitas dan kualitas pengajaran dibandingkan sekolah favorit di perkotaan.
“Ketimpangan sekolah yang ada di kota dan desa sangat tinggi. Jadi sekolah favorit yang ada di kota dengan yang ada di pelosok itu sangat berbeda kualitas pendidikannya,”ujarnya.
Tak hanya itu, GMNI mengangkat isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang terus berulang tiap tahun. Mereka menilai fungsi pengawas sekolah saat ini tidak berjalan efektif.
“Kekerasan seksual terus terjadi. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan. Ada atau tidak pengawas, seakan tidak ada bedanya,” tegas Genta.
Lebih lanjut diterangkan Genta politisasi pendidikan dan ancaman kebebasan akademik salah satu contohnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diduga menjadi monopoli untuk menyusupkan program kegiatan yang tidak menyentuh siswa.
“Contoh nyata yang ada di Trenggalek adalah, adanya 2 buku yang disusupkan untuk masuk ke anggaran dana BOS. Buku itu yang pertama tentang disiplin lalu lintas seharga Rp 350 ribu dan buku anti korupsi seharga Rp 1,5 juta. Parahnya, buku tersebut diperjualbelikan di bawah naungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Trenggalek,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Trenggalek, Sukarudin, menerima langsung perwakilan GMNI. Ia menyatakan bahwa penyampaian aspirasi adalah hak masyarakat, dan DPRD akan menindaklanjuti tuntutan yang disampaikan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
“Yang menjadi kewenangan daerah akan kita selesaikan. Untuk yang berada di ranah pusat atau provinsi akan kita koordinasikan,” kata Sukarudin.
Terkait isu kekerasan seksual di sekolah, Sukarudin menjelaskan bahwa penanganan kasus telah dilakukan oleh kepolisian. Namun ia mengakui perlunya upaya pencegahan yang lebih komprehensif bersama para pemangku kepentingan.
Dalam orasinya, GMNI menyoroti dugaan penyalahgunaan dana BOS yang dinilai dimanfaatkan untuk kepentingan politis, salah satunya dengan menyusupkan dua jenis buku ke sekolah-sekolah. Buku tersebut adalah buku tentang disiplin lalu lintas seharga Rp 350 ribu dan buku anti korupsi senilai Rp 1,5 juta. Keduanya disebut diperjualbelikan di bawah naungan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Trenggalek.
“Tidak ada kewajiban untuk membeli buku itu. Mau beli boleh, tidak juga tidak apa-apa. Anak-anak yang dididik kritis seperti ini, nantinya akan memiliki cara berpikir yang lebih baik,” tegas Sukarudin.
Aksi ini diakhiri dengan penyerahan dokumen tuntutan GMNI kepada DPRD Trenggalek. Mereka berharap seluruh isu yang disampaikan dapat segera ditindaklanjuti secara konkret oleh para pemangku kebijakan.(*).